Pada era sekarang ini banyak sekali media massa terutama di Indonesia yang bermunculan. Bahkan karena banyaknya media massa yang bermunculan ini sehingga tak jarang media massa tersebut sering sekali tidak menghiraukan ruang lingkup jurnalistik dalam memuat suatu berita. Parahnya ketika media-media yang ada saat ini kerapkali ditunggangi oleh kepentingan-kepentingan politik maupun non politik. Sering kali media yang ada sekarang tidak bersifat netral karena adanya kepentingan yang bersifat pribadi. Seperti halnya stasiun televisi ANTV yang menyiarkan profil Aburizal Bakrie sebagai kandidat salah satu ketua partai Golkar dan sebaliknya Surya Paloh sebagai pemilik dari Metro TV juga melakukan hal yang sama gencarnya dengan menyiarkan sosok serta profilnya.
Ideologi para jurnalis sekarang sering kalah dengan kepentingan pemilik. seperti halnya di Indonesia. Banyak pemilik media yang memiliki lebih dari satu perusahaan media, padahal undang-undang di Indonesia sendiri melarang seorang pemilik memiliki lebih dari satu perusahaan media. Pada dasarnya media seharusnya netral karena sifatnya sebagai penengah atau perantara masyarakat dengan pemerintah.
Di Indonesia sendiri, banyak pemilik media massa yang melakukan intervensi ketika media yang bersangkutan memuat suatu berita dan menyalurkanya kepada masyarakat. Sikap ketidaknetralan ini terbukti dengan adanya Munas Golkar Bulan Oktober 2009 kemarin, memperlihatkan bagaimana kelompok Bakrie dan kelompok Surya Paloh sama-sama menggunakan media televisi untuk kepentingan pribadi. Hal ini membuktikan bahwa dua kelompok tersebut sengaja mempengaruhi masyarakat dengan menggunakan media yang dimilikinya. Akibatnya media massa tersebut tidak bersikap netral dan berat sebelah. Dua grup media tersebut saling menonjolkan kandidat masing-masing tanpa menghiraukan para pesaingnya. Contohnya seperti dalam Munas Golkar bulan Oktober lalu, Antv sama sekali tidak menyiarkan profil sosok Surya paloh sama sekali, begitu juga sebaliknya di Metro TV juga tidak menyiarkan sosok Bakrie.
Dengan fakta diatas maka dapat dilihat bahwa media hanya menjadi tunggangan bagi kepentingan politik tertentu. Ini terbukti dengan adanya pemberitaan di media elektronik maupun cetak banyak dijejali dengan berita-berita tentang agenda pemilu maupun kampanye parpol saja. Isu tentang tarik ulur kekuasaan maupun perhatian publik menjadi arus utama dalam pemberitaan di media massa di indonesia. Jajak pendapat Kompas mengungkap, hampir seluruh responden (85,3 persen) menyatakan media cetak dan elektronik kini cenderung menjadi ruang iklan bagi partai politik. Banyak media di Indonesia sekarang sudah tidak mempunyai ideologi sendiri, hal ini disebabkan banyak media di Indonesia dikuasai oleh pebisnis yang memiliki latar belakang kepentingan politik, dibalik kedok sebuah media itu sendiri. Seperti halnya koran Tempo yang dulunya di pandang mempunyai ideologi, sekarang menjadi tidak berideologi bahkan sekarang sudah dikuasai oleh para pemilik modal besar atau para penguasa (de facto).
Media massa tidak menunggu peristiwa lalu mengejar, memahami kebenarannya dan memberitakannya kepada publik. Media mendahului semua itu, dia menciptakan peristiwa. Menafsirkannya, dan mengarahkan terbentuknya kebenaran. Seperti halnya kasus yang terjadi di Indonesia dimana banyak media massa yang memanipulasi suatu berita sehingga masyarakat merasa di bohongi diluar bawa sadarnya. Tetapi masyarakat sendiri tidak merasa di bohongi karena kurangnya transparansi antara media dengan masyarakat itu sendiri.
Ketika sebuah media di pojokkan oleh kepentingan politik disitulah letak sebuah media terkekang. Dulu pada masa kekuasaan Presiden Soeharto, media terkekang oleh keterbatasan menyalurkan aspirasinya. Bahkan media yang berani melanggar aturan akan di bredel atau di copot hak ijinnya. Sikap represif Soeharto terhadap media massa pun berakhir sejak dimulainya era Refoemasi. Pada tahun 1998-la, kran kebebasan media massa mulai terbuka. Banyak media massa mulai beranak-pinak seperti Jawa Pos Group dengan koran-koran daerahnya. Tatkala sebuah media mulai berkembang pesat, salah satu indikasinya dengan memiliki koran-koran didaerah lain, situlah asal muasal kepentingan pribadi serta golongan mulai muncul.
Kekuatan media massa dalam mengarahkan opini dan pilihan sikap publik dalam era modern diyakini jauh lebih kuat dibandingkan kampanye langsung seorang presiden sekalipun. Meskipun pengaruhnya di Indonesia tidak sebesar di negara-negara maju, media massa masih menjadi ujung tombak pembangunan citra positif. Tak ayal, dana miliaran hingga triliunan rupiah mengalir ke pihak media demi memenangkan opini positif dan simpati publik atau rakyat. Dalam konteks ini, media lebih berkuasa dibandingkan pemerintah. Pada dasarnya media harus senantiasa melibatkan masyarakat dalam menilai suatu permasalahan, sering kali media hanya melibatkan elite dan praktisi politik saja tanpa melihat sejauh mana pendapat masyarakat dalam menilai sebuah isu politik. Seharusnya media senantiasa menggali lebih dalam tentang isu-isu politik yang di sampaikan secara utuh agar masyarakat bisa menimbang secara lengkap setiap informasi yang ada.
Bahkan tak jarang media menyiarkan suatu berita yang bersifat membunuh karakter. Cara yang sering dilakukan pers adalah dengan melakukan labeling atau penilaian tak adil tanpa fakta yang benar terhadap seseorang. Contoh nyata pembunuhan karakter dalam media massa di indonesia adalah kasus dari Antasari Azhar yang sebelum dinyatakan oleh pengadilan sebagai seorang dalang pembunuhan nasrudin dan diberi hukuman, sudah di vonis sebagai pembunuh dari Nasrudin. Ini mengakibatkan masyarakat sangat terpengaruh dengan adanya pemberitaan tersebut. Dedy Mulyana dalam bukunya Nuansa-nuansa komunikasi bahkan menyebutkan, dampak penjulukan itu jauh lebih hebat dan tidak berhubungan dengan kebenaran penjulukan tersebut, terutama dalam posisi lemah dan reaksi yang diberikan objek yang dijuluki terhadap orang lain “membenarkan” penjulukan tersebut. Maka membuat itu telah dipenuhinya sendiri, dan dalam kasus ini menjadi realitas bagi si penjuluk dan orang yang dijuluki (Mulyana, 1999:70).
Kecenderungan inilah yang seharusnya membuat masyarakat bersiakap kritis terhadap media, akan tetapi msyarakat cenderung terhipnotis akan adanya pemberitaan tersebut. Hal ini berbeda ketika pada masa Orde Baru dulu, dimana kebebasan pers sangat terkekang. Banyaknya para wartawan tidak bisa berbuat apa-apa karena kontrol sepenuhnya dikendalikan oleh pemerintah. Sebaliknya, pasca Reformasi, banyak media massa yang justru menjadi pengendali bagi kelangsungan politik di Indonesia.
Pada dasarnya bias berita terjadi karena media massa tidak berada diruang vakum. Media sesungguhnya berada di tengah realitas sosial yang syarat dengan berbagai kepentingan dan fakta yang kompleks dan beragam. Media sekarang cenderung berada ditengah-tengah antara dua kepentingan, yakni kepentingan politik dan kepentingan ideologi media itu sendiri. Menurut Louis Althusser (1971, dalam Al-zastrouw, 2000) menulis bahwa media, dalam hubunganya dengan kekuasaan, menempati posisi strategis, terutama karena anggapan akan kemampuannya sebagai sarana legitimasi. Tetapi bagi Antonio Gramsci (1971, dalam Al-Zastrouw, 2000) mengabaikan resistensi ideologis dari kelas tersubordinasi dalam ruang media. Bagi Gramsci, media merupakan arena pergulatan antar ideologi yang saling berkompetisi (the battle ground for competing ideologies).
Sebagaimana dikatakan oleh Marshall Mcluhan, “the medium is the massege”, medium itu sendiri merupakan pesan. “Apa-apa yang dikatakan” ditentukan secara mendalam oleh medianya. Terlebih lagi jika disadari bahwa dibalik pesan-pesan yang disalurkan lewat media niscaya tersembunyi berbagai mitos. Dan, mitos sebagai sistem signifikansi, mengandung muatan ideologis yang berpihak kepada kepentingan mereka yang berkuasa (Budiman, 1999:12).